Jumat, 10 Juni 2022

Impian Terkendala Restu Orang Tua

Gawaiku bergetar, pertanda ada pesan masuk disana. Sambil tetap berkutat dengan laptop, ku intip gawaiku dan memang ada notifikasi pesan masuk. Kuhentikan sejenak kesibukanku dengan laptop dan ku angkat gawaiku
"Assalamualaikum bu. Mohon maaf menganggu waktunya. Apakah saya bisa konsultasi hari ini Bu?" sebuah pesan tertera disana. Hari ini memang kegiatanku tidak begitu padat, setelah pekan ujian akhir tahun satu Minggu yang lalu, sekarang saatnya para guru mengolah nilai untuk dimasukkan raport, begitu juga denganku. Tanpa pikir panjang segera aku jawab pesan tersebut, 
" Ya nak, silahkan. Saya tunggu"
Sebenarnya beberapa hari yang lalu siswaku ini sudah menghubungiku untuk konsultasi, tetapi saat itu aku masih belum bisa melayaninya dikarenakan ada saudara yang meninggal di Gresik, aku dan keluarga sedang dalam perjalanan takziyah kesana. 
Pada saat itu aku menawarkan padanya, seandainya permasalahannya sangat mendesak dan harus segera diselesaikan maka dia bisa konsultasi dengan guru  Bimbingan Konseling (BK) yang lain, 
"Iya bu tidak papa mohon maaf sebelumnya Bu. Turut berdukacita Bu. Untuk konsultasinya menunggu panjenengan saja Bu, hehe karena nyamannya ke panjenengan. Jadi konsultasinya menunggu panjenengan saja Bu. Terimakasih banyak bu" begitu dia sampaikan padaku. Sehingga akhirnya konsultasinya tertunda hingga hari ini. 

Tak berapa lama, dia datang ke ruang BK, aku segera mengajaknya masuk ruang konseling. Sebenarnya duduk di ruang tamu bisa, hanya saja aku khawatir kalau ternyata permasalahannya privasi. Setelah duduk dia mulai bercerita, sebenarnya setelah lulus SMA dia ingin sekali kuliah, karena keterbatasan ekonomi orang tuanya terutama ibunya menyuruhnya untuk bekerja saja. Selain itu dia merasakan bahwa pada semester 3 dan 4 ini nilainya turun karena tidak ada semangat untuk belajar. 

Sebut saja namanya Kikan, dia adalah anak pertama dari dua bersaudara, adiknya laki-laki  berkebutuhan khusus. Ibunya bekerja sebagai kuli cabai di pasar. Ayahnya bekerja seadanya, tetapi sejak 3 Minggu ini ayahnya merantau ke Malaysia. Keadaan ekonomi Kikan memang tergolong menengah ke bawah, sehingga bisa dimaklumi kalau ibunya tidak mengijinkan Kikan untuk kuliah. Dia masih kelas XI, tetapi sudah punya rencana untuk kuliah. Dia juga ikut Kompetisi Sains Nasional (KSN), meskipun belum pernah menang, tetapi semangatnya untuk mengikuti KSN sangat besar. 

"Saya ingin kuliah Bu" katanya sambil berkaca-kaca. Aku mendekatinya, aku usap pundaknya
"Ya nak, ayo kita cari solusi bersama-sama" ujarku menenangkannya. 
Sebenarnya sedikit banyak aku sudah tahu keadaan ekonominya karena sebelumnya dia pernah datang untuk konseling denganku dan kali ini untuk kedua kalinya. 
Aku berusaha memotivasinya dengan memberikan dukungan supaya dia tidak patah semangat dan kusampaikan bahwa kondisi ekonomi tidak boleh menghalangi seseorang untuk belajar, oleh karena itu pemerintah mengadakan program beasiswa bagi calon mahasiswa dengan nama KIP-K atau Kartu Indonesia Pintar-Kuliah atau pada jaman dahulu namanya adalah Bidikmisi. Program beasiswa ini memang khusus untuk calon mahasiswa yang tidak mampu dari segi ekonomi. Pada jaman dahulu, pendaftaran Bidikmisi diserahkan sepenuhnya kepada sekolah, dalam hal ini pada BK. Tetapi kira-kira 5 tahun ini, semuanya dilakukan melalui wesite KIP-K dari pemerintah dan pendaftaran dilakukan secara mandiri oleh siswa yang bersangkutan.

Pendaftaran KIP-K biasanya bersamaan dengan pendaftaran sesuai jalur masuk perguruan tinggi negeri seperti melalui SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri)atau Mandiri. Kikan mendengarkan penjelasan yang kuberikan, terlihat dia sangat mengerti dan memahami. 
"Lalu, bagaimana cara saya menjelaskan pada ibu saya Bu" tanyanya lagi
"Kalau memang ibumu ada waktu, beliau bisa hadir ke sekolah. Nanti saya yang akan menjelaskan pada beliau" ujarku. Kikan tampak mengangguk angguk. 
"Baik, sekarang kita bahas permasalahan ke dua yaitu rasa malas belajar yang kamu rasakan.  Menurutmu, apa yang membuatmu malas belajar sehingga nilaimu turun"
"Karena ibu saya melarang sy kuliah tadi Bu, akhirnya saya berpikiran untuk apa saya belajar kalau pada akhirnya saya tidak diperbolehkan sekolah" katanya kembali menangis. Aku segera mengambilkan tissu dan kuberikan padanya. 

"Saya rasa pemikiranmu yang seperti itu kurang tepat. Seharusnya meskipun ibumu melarang, tetapi kalau kamu tetap berniat untuk kuliah hal itu bisa dijadikan semangat dan buktikan kalau kamu memang berniat kuliah" kataku menjelaskan. Tiba-tiba dia terkejut. 
"Iya, ibu benar. Seharusnya dengan sikap ibu saya yang seperti itu harusnya saya tambah bersemangat, kalau saya seperti ini berarti saya semakin membuktikan pada ibu kalau sebaiknya saya tidak kuliah karena nilai-nilai saya turun" aku mengangguk
"Oleh karena itu bersemangat lah, buktikan pada ibumu bahwa kamu layak untuk kuliah karena nilai-nilaimu memang cukup untuk masuk perguruan tinggi negeri" kataku sambil tersenyum
"Baik Bu, saya akan berusah lebih baik lagi" katanya sambil mengambil nafas panjang
"Intinya hari ini kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan. Sebelum kita tutup pertemuan ini, mungkin masih ada yang ingin kamu sampaikan nak?" tanyaku lagi.
"Tidak ada Bu, saya sudah lega sekarang. Terima kasih Bu, maaf saya sudah mengganggu kesibukan ibu" katanya sambil tersenyum 
"Tidak apa-apa, sudah tugas saya" 
"Saya pamit dulu ya Bu" ujarnya sambil mencium punggung tanganku dan aku mengangguk.
Setelah Kikan pergi, aku melanjutkan tugasku mengentri nilai. Dalam hati aku berharap semoga keinginan Kikan akan menjadi nyata, Aamiin 🤲


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jurnalisme Kebangsaan Sesi Kolaborasi dengan Prof. Eko Indrajit

                 Nama saya Purbaniasita, biasa dipanggil Sita. Saya adalah seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di SMA Negeri 2 Malang. Ino...