Minggu, 31 Juli 2022

Malaikat tak bersayap

 Pagi itu, aku dikejutkan oleh dering  handphone suamiku. Perasaan tidak enak tiba-tiba membelengguku setelah 2 minggu lebih aku tidak bisa menjenguk ibuku yang sedang sakit karena aku terpapar Covid 19. Meskipun waktu itu suamiku sengaja menjauhkan handphone itu dariku, tapi sayup-sayup aku mendengar adik perempuanku menangis. Aku diam dalam hati aku berkata, benarkah firasatku selama ini menjadi kenyataan, bahwa ibu telah meninggalkan kami. 

"Apa ibu meninggal yah" tanyaku pada suamiku, suamiku diam sejenak, tak lama kemudian dia bilang

"Ayo kita siap-siap pulang ke rumah uti" katanya waktu itu. Air matakupun mulai mengalir deras, bergegas aku mengemasi beberapa pakaian yang akan kami bawa, Tak lama kami segera menyusuri jalan, motor ku kemudikan dengan cepat, aku berharap masih bisa mendengar pesan terakhir dari ibuku, tetapi ternyata aku terlambat sesampai di rumah ibu, ternyata Ibu telah berpulang.

Aku tidak bisa berkata-kata lagi, lemas rasanya seluruh tubuhku saat melihat adik perempuanku yang duduk di sebelah tempat tidur ibu menangis dan memanggil-manggil ibu. Aku pegang tangan ibu, aku coba mencari nadinya tapi yang aku rasakan tangan ibu telah dingin. 

Tak kuasa aku melihat wajah ibuku, seketika aku masuk ke kamar adikku dan menangis tiada henti. Ada perasaan menyesal yang amat sangat, karena disaat ibu sakit aku tidak bisa mendampingi dan merawat beliau. Aku berharap semua ini hanya mimpi, tapi ternyata tidak. Semuanya nyata, bahwa sekarang ibu telah meninggalkan kami. Teringat firasat yang selama ini aku rasakan, pada saat itu aku masih terpapar covid 19 dan setiap malam antara setengah sadar dan tidak selalu muncul bayangan bahwa ibu akan meninggalkan kami, dan hal itu berlangsung terus menerus selama lebih kurang satu minggu sebelum aku mendengar berita kalau ibu berpulang.

"Uti ... kita kan sudah janji kita akan sembuh bersama-sama" bisikku seakan tidak bisa menerima kepergian ibu. Teringat saat aku akan meninggalkan ibu untuk isolasi mandiri, bingung, cemas dan berbagai perasaan menyelimutiku. Aku harus memilih antara tetap bersama ibu dan merawat beliau dengan resiko bisa saja ibu tertular covid 19 atau aku mau tidak mau harus meninggalkan ibu untuk melakukan isolasi mandiri dengan resiko ibu akan sendirian dan tidak ada yang merawat karena adikku sedang pergi ke luar kota. 

"Lalu ibu bagaimana, siapa yang nanti merawat ibu" kataku masih berat meninggalkan ibu

"Ibu tidak apa-apa, sebentar lagi pasti adikmu pulang" kata ibu berusaha menenangkan aku

"Tapi bu ..." 

"Sudahlah, tidak apa-apa yang penting kamu segera sehat supaya bisa merawat ibu lagi" kata ibu tersenyum.

Aku tahu, itu sebuah senyuman yang dipaksakan ibu menyembunyikan kegalauan hatinya. Aku merasakan bahwa sebenarnya ibu juga mengkhawatirkan kesehatanku, tetapi keadaan yang membuat kami serba salah.

"Ya sudah kalau begitu, tapi janji ya bu 2 minggu lagi kita bertemu dalam keadaan sehat. Janji ya, kita sehat bersama-sama" ucapku lagi. Air mataku menetes, tidak rela rasanya meninggalkan ibu dalam kondisi sakit seperti ini. Dengan berat hati, aku tinggalkan ibu bersama bulik (adik kandung ibu yang ikut tinggal bersama kami). Tidak bisa mendampingi ibu selama sakit adalah hal yang sangat-sangat membuatku kecewa, tetapi keadaanku yang saat itu sangat lemah membuat aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Hari-hari yang biasanya aku lalui bersama ibu, kini harus aku lalui dengan Video call atau menelefon untuk menanyakan keadaan ibu, hingga akhirnya ibu meninggal.

Perjuangan ibu membesarkan kami ber tiga sangat luar biasa. Di usia 36 tahun beliau mendapatkan cobaan, suami tercintanya meninggal dunia, hancur harapan-harapan yang telah disusun bersama dengan suaminya. Tetapi saat itu ibu dituntut untuk tegar, kuat dan tabah karena kami bertiga  masih kecil-kecil. Aku masih berusia 12 tahun, baru saja masuk SMP, adikku yang kedua juga seorang putri yang masih kelas 6 SD, dan adikku yang ke tiga seorang putra masih kelas 4 SD. Dengan segala keterbatasan beliau sebagai seorang "single parents" dan terbiasa hidup susah menjadikan beliau sebagai seorang perempuan yang sangat kuat. 


 Tidak pernah sedikitpun keluar keluhan dari bibir ibu, hanya doa dan keyakinan bahwa anak-anaknya akan menjadi orang yang sukses dunia akhirat. Ibuku adalah seseorang wanita yang sangat menginspirasi, tegar, ulet dan berdedikasi tinggi baik dalam keluarganya maupun di tempatnya bekerja. Setelah bapak meninggal, ibu berusaha mencukupi kebutuhan kami, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan untuk sekolah kami. Bagi ibu, sekolah adalah nomer satu sehingga apapun akan beliau lakukan supaya anak-anaknya bisa tetap sekolah. Beruntunglah saat itu ibu juga bekerja sebagai pegawai pemerintah kabupaten, sehingga beliau masih mempunyai penghasilan untuk menghidupi kami.

 Pada saat itu ibu hanya punya gaji sebagai pegawai pemerintah yang hanya cukup untuk makan sehari-hari, modal uang hasil pensiun bapak dan tanah warisan dari ayahnya. Akhirnya ibu mencoba membangun sebuah kos-kosan untuk biaya sekolah kami bertiga. Ibu tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, semua beliau lakukan untuk anak-anaknya. Bersyukurlah rumah kami dekat dengan Perguruan Tinggi Negeri di Malang, sehingga setelah kos-kosan itu berdiri tidak berapa lama banyak mahasiswa-mahasiswa dari luar kota yang mencari kos. Alhamdulillah dari hasil kos-kosan itu akhirnya aku dan adik-adikku bisa melanjutkan sekolah.

Suatu ketika ibu pulang dari kantor sambil membawa beberapa kaleng cat dan perlengkapan untuk perawatan kos-kosan.

“Untuk apa itu bu” tanyaku

“Tembok di kos-kosan sudah waktunya di cat juga ada beberapa tembok yang basah kena air, kalau dibiarkan saja akan semakin parah rusaknya” kata ibu menjelaskan

“Kenapa kita ndak nyuruh orang saja untuk memperbaiki bu” tanyaku lagi

“Kalau bisa kita kerjakan sendiri, lebih baik kita kerjakan sendiri saja. Pertama, kita bisa irit ongkos, kedua supaya kamu bisa belajar ngecat dan ndempul tembok dan yang ketiga supaya kita bisa olah raga” kata ibu sambil tertawa. Aku tersenyum saja.

Sebenarnya dalam hatiku menggerutu, kalau menyuruh orang untuk memperbaiki kos-kosan kan lebih baik, hasilnya juga lebih memuaskan, kita juga bisa ngirit tenaga untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Rupanya ibu tahu kalau aku tidak setuju dengan keinginannya untuk ngecat kos-kosan sendiri

“Seorang perempuan itu setidaknya juga harus bisa mengerjakan pekerjaan kasar mbak. Karena ada kalanya kita tidak bisa minta tolong orang lain untuk membantu kita. Seperti saat ini uang ibu sudah habis, mau menyuruh orang untuk memperbaiki ibu tidak punya uang yang cukup sedangkan kalau tidak segera diperbaiki, maka tidak ada anak kos yang mau masuk karena melihat temboknya rusak seperti itu” kata ibu menjelaskan.

“Ya sudah kalau begitu” kataku Akhirnya aku ikut membantu ibu mengecat tembok kos-kosan. Ibu pun juga mengecat di bagian yang lain.

 Setelah selesai mengecat tembok ada rasa bangga dalam diriku, terutama setelah melihat bahwa hasil kerjaku tidak mengecewakan meskipun setelahnya tanganku rasanya pegal-pegal. Saat kami bersantai di depan TV,

“Gimana ngecatnya tadi mbak?"

“Seneng sih, cuma sekarang tanganku pegal-pegal”

“Intinya banyak hal yang kita pelajari, pertama kamu jadi tahu bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk mengecat tembok, yang kedua kamu jadi tahu susahnya orang yang bekerja sebagai kuli bangunan. Dengan begitu ibu harapkan kamu menghargai pekerjaan orang-orang seperti itu dan yang ketiga supaya bisa hidup, orang harus mau berjuang” kata ibu menjelaskan. Aku mengangguk-angguk, benar yang ibu katakan. 

Pesan-pesan ibu itu sangat membekas untukku dan menjadi pengalaman berharga yang bisa aku tularkan pada anak cucuku nanti. Banyak hal yang aku pelajari dari ibu, bahkan pesan ibu yang mewajibkan seorang perempuan bekerja hal itu berkaca dari pengalaman hidup ibu yang menjadi janda pada usia muda. Beruntunglah ibu masih mempunyai pekerjaan, sehingga kebutuhan hidup kami bisa teratasi.

Tanggung jawab ibu pada kami telah selesai, perempuan luar biasa itu telah berkumpul bersama kekasih hatinya di Surga. Semoga semua ilmu yang diberikannya kepada kami menjadi ladang pahala dan shadaqoh jariyah untuk perjalanan beliau di akhirat bersama bapak. Semoga husnul khotimah Ibu dan Bapak. We love you …

 



   

4 komentar:

  1. Judul yang bagus.
    Semoga Allah memberi tempat yang baik pada ibunda

    BalasHapus
  2. Kisah yang mengharukan dari peristiwa covid. Semoga Ibunda mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya.

    BalasHapus
  3. Masya Allah... Semoga ibunya tenang di sana. Aamiin

    BalasHapus

Jurnalisme Kebangsaan Sesi Kolaborasi dengan Prof. Eko Indrajit

                 Nama saya Purbaniasita, biasa dipanggil Sita. Saya adalah seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di SMA Negeri 2 Malang. Ino...